Kepala Program Studi Magister Ilmu Farmasi Ubaya, Dr. apt. Fauna Herawati, M.Farm-Klin., mengungkap, program pengendalian bakteri resisten dan resistensi antibiotik dapat dilakukan melalui kolaborasi dari tenaga kesehatan yang disertai oleh kesadaran penggunaan antibiotik yang rasional.
Dia juga menyebut, riwayat penggunaan antibiotik di tiga bulan terakhir dan penegakan diagnosis penyakit infeksi sangat penting untuk dilakukan.
“Penting bagi tenaga medis untuk mendiagnosis tingkat keparahan penyakit infeksi dan pilihan terapi secara empiris sesuai dengan mikroorganisme penyebab infeksi pada pasien,” jelasnya.
“Informasi tentang penggunaan antibiotik di tiga bulan terakhir dapat membantu mengenali potensi bakteri resisten dan menggunakan pilihan antibiotik yang sensitif sehingga keberhasilan terapi tercapai,” tambahnya.
Fauna juga membagikan hasil penelitiannya di tahun 2020 tentang hubungan antara pengetahuan dan keyakinan terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan antibiotik. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa masyarakat sudah mengetahui adanya bakteri kebal antibiotik.
Namun, masyarakat tetap mengonsumsi antibiotik secara sembarangan karena persepsi tentang bakteri resisten dapat menyebabkan kematian rendah.
“Pasien yang merasa pusing, demam, atau reaksi inflamasi lainnya seringkali merasa pulih akibat konsumsi antibiotik. Jadi mereka merasa disembuhkan antibiotik. Padahal bukan karena antibiotiknya tetapi memang karena sudah waktunya sembuh. Seolah antibiotik yang menyelamatkan,” tuturnya.
Jika penggunaan antibiotik terus dilakukan tanpa pengawasan tenaga kesehatan, resistensi antibiotik dikhawatirkan dapat menyebabkan ketersediaan pilihan antibiotik berkurang.
“Yang ditakutkan, penyakit infeksi bakteri tertentu menjadi sulit disembuhkan karena tidak ada antibiotik yang bisa mengatasi,” pungkasnya. (rmt/nur)
Sumber: Radar Surabaya