Usahakan Tetap Terhubung. Ortu Bebas Galau meski Anak Tinggalkan Rumah hayuning September 9, 2019

Usahakan Tetap Terhubung. Ortu Bebas Galau meski Anak Tinggalkan Rumah

‘Rasanya baru kemarin TK, sekarang sudah mau kos di luar kota…’ Bagi sejumlah orang tua, melepas anak untuk studi atau bekerja jauh dari rumah bukanlah hal yang mudah. Namun, saat anak tak di rumah, muncul beragam kecemasan. Apakah anak baik-baik saja nun jauh di sana?
Melepas anak, baik untuk belajar, bekerja, maupun menikah jauh dari rumah, adalah proses wajar dan alami yang akan dilalui setiap orang tua. ‘Umumnya, ibu dan ayah sudah siap dan paham. Apalagi, anak dilepas di usia yang sudah mandiri,’ ujar psikolog Asteria R. Saroinsong S.Psi. Jadi, orang tua bisa beradaptasi dengan baik pada kondisi rumah tanpa anak.
Asteria menuturkan, rasa sepi dan khawatir di awal kepindahan anak adalah hal yang wajar. ‘Berapa pun usianya, anak tetap anak di mata orang tua,’ tegasnya. Kepergian itu, lanjut dia, bukan untuk diratapi.
Untuk menghindarinya, psikolog di Layanan Psikolog Bijaksana itu menyarankan ibu-ayah serta anak berkomitmen supaya tetap terhubung. ‘Meski terpisah jarak, hubungan harus tetap dekat. Apalagi, dengan teknologi sekarang, ketemu bisa lewat video call atau telepon,’ katanya.
Di pekan-pekan awal, komunikasi biasanya berlangsung intens dan tidak terjadwal. Namun, seiring waktu, anak dan orang tua akan menemukan ‘pola’ yang pas.
Menurut psikolog yang aktif siaran tersebut, waktu adaptasi anak maupun orang tua dalam berhubungan jarak jauh berbeda-beda. ‘Orang tua harus memahami kesibukan anak. Sebaliknya, anak perlu mengerti bahwa ayah dan ibunya butuh terhubung juga,’ terangnya. ‘Ditanya kabar atau cerita enteng-enteng saja, (perasaan) orang tua sudah ayem kok,’ imbuhnya.
Di sisi lain, Dra Srisiuni Sugoto, M.Si., Ph.D, menjelaskan rasa kesepian yang berlangsung terlalu lama perlu dicurigai. Apalagi jika disertai rasa mengasihani diri sendiri. ‘Sangat mungkin gangguannya mengarah ke empty nest syndrome,’ ungkapnya. Menurut Siuni, sapaannya, sindrom sarang kosong kerap dialami kelompok usia dewasa madya (45-60 tahun). Gangguan itu merujuk pada rumah yang kosong setelah anak terkecil mulai hidup mandiri. Siuni mengungkapkan, sindrom tersebut sering dialami ibu rumah tangga.
Namun, tidak tertutup kemungkinan empty nest syndrome masa kini dialami kelompok usia yang lebih muda maupun ibu bekerja. Apalagi, kian banyak anak yang melanjutkan ke jenjang boarding school. ‘Kegiatan ibu rumah tangga berfokus pada keluarga kecilnya. Jadi, waktu anak meninggalkan rumah, muncul perasaan tidak dibutuhkan,’ papar dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya itu.
Hal itu bisa semakin parah ketika ibu ‘menggantungkan’ diri kepada anak. Ketergantungan tersebut ditandai dengan konstruksi pola pikir yang keliru. ‘Contohnya, ibu baru merasa diterima kalau masakannya habis. Kalau enggak, terus kepikiran, ‘Apa masakanku nggak enak? Apa anakku enggak suka masakan ibunya?’ tuturnya.
Untuk mencegah hal itu, lanjut Siuni, ibu rumah tangga perlu mengikuti kegiatan maupun komunitas di luar rumah. ‘Jadi, fokusnya bisa teralihkan ke aktivitas yang lebih bermanfaat,’ ucapnya. (fam/c18/nda)
Sumber: JawaPos, 30 Agustus 2019