Pesan Dahlan Selalu Jadi Alarm Joni fadjar May 5, 2017

Pesan Dahlan Selalu Jadi Alarm Joni

Sudah empat bulan Prof Joniarto Parung, rektor Universitas Surabaya (Ubaya), memiliki hati baru. Hati yang dicangkok dari buah hatinya, Christabel Annora. Kini Joni ndash;panggilan Joniartondash; sedang menjalani hari-hari yang tak kalah berat. Yakni, disiplin menjaga kesehatan tubuh. Pesan dari Dahlan Iskan senantiasa menjadi pegangan baginya.

MENGUNJUNGI ruang kerja Prof Joniarto Parung di lantai 2 Universitas Surabaya kampus Ngagel Jaya Selatan 169 tak ubahnya datang ke ruang medis yang steril. Sebelum memasuki ruangan, harus melepas sepatu, memakai masker, dan mengoleskan hand sanitizer. Tanpa terkecuali.

Setelah itu, pintu geser baru dibuka. Di dalam ruang kerja yang dingin tersebut, terlihat jelas kebersihan terjaga. Semua itu harus dilakukan karena transplantasi liver membuat seorang pasien rentan terserang bakteri dan virus.

Saat ditemui Jumat pagi lalu (28/4), Joni tampak segar. Dia baru menerima tamu. Seraya mempersilakan wartawan Jawa Pos duduk, dia mengambil posisi di sofa.

Bagi Joni, disiplin menjaga kesehatan bukan hal mudah Sebab, dia kini sudah beraktivitas normal setelah menjalani transplantasi hati pada Desember 2016. Termasuk kembali menjalani tugas sebagai rektor.

‘Ritme kerja saya sudah normal lagi,’ katanya, lantas tersenyum. Joni, yang pagi itu mengenakan setelan batik dan celana berwarna gelap, bercerita bagaimana dirinya dituntut untuk menjaga jarak apabila bertemu seseorang. Kedisiplinannya untuk menjaga jarak sempat membuat orang seperti tersinggung.

Dia pun bercerita, suatu saat dirinya menghadiri sebuah pertemuan. Seperti biasa, saat bertemu dengan kolega, ada jabat tangan. Namun, dia harus menghindari itu karena masih berada dalam masa recovery. Dia sebenarnya sudah memberikan isyarat tidak bisa bersalaman. Tetapi, koleganya seperti memaksa. ‘Setelah itu, dia agak aneh kalau melihat saya. Mungkin marah,’ ungkapnya.

Joni menuturkan, dalam situasi seperti itu lebih enak kalau dirinya bersama sang istri. Sebab, sering kali dia lupa untuk menjelaskan terlebih dahulu alasannya menghindari berjabat tangan. Beda dengan istrinya yang sigap untuk memberikan penjelasan.

Lebih lanjut dia menjelaskan, peran keluarga dalam menjaga kedisiplinan bagi pasien transplantasi liver memang sangat besar. Misalnya soal mengingatkan minum obat. Joni sepakat dengan istri dan kedua anaknya untuk memasang alarm di ponsel masing-masing pada pukul 06.30 dan 18.30.

Setiap 12 jam, alarm akan berdering, tanda waktunya minum obat. Kalau sudah begitu, istri maupun anak akan saling mengingatkan agar Joni minum obat. Menurut Joni, kekompakan itu diperlukan supaya semangat tetap terjaga. ‘Sekarang, kalau istri saya menelepon, langsung saya jawab sudah. Sudah tahu mau mengingatkan,’ canda dia, lantas tertawa.

Rektor yang kaya pengalaman di bidang militer itu menambahkan, tekad untuk disiplin ditanamkan sejak transplantasi liver di putuskan untuk dirinya. Dia tidak mau perjuangan keluarga, terutama Christabel Annora yang mendonorkan livernya, menjadi sia-sia.

Karena itulah, sejak awal Joni bertekad tidak mau mengulur waktu minum obat. Termasuk soal menjaga pola tidur yang dulu sempat dia gampangkan. Begitu juga pola makan. Larangan agar tidak melahap yang mentah-mentah dia jaga betul. Gara-gara itu, dia sampai menjauhi pecel sayur yang merupakan kesukaannya.

Jika ada keperluan di luar dan harus makan di restoran, Joni langsung memilih capcai, mi goreng, atau makanan yang mengharuskan dimasak saat itu juga.

Pola hidup higienis sempat dia terapkan dengan ketat begitu selesai cangkok hati. Mencuci bahan makanan pun harus menggunakan air panas. Bahkan, pisau dan alat masaknya tersendiri supaya tidak terkontaminasi. Tiga bulan pertama itu dia lalui dengan sangat ketat.

Joni mulai melonggarkan pola hidup itu setelah check up ke Singapura lagi. Hasilnya bagus. Tidak ada penyebaran kanker ke organ lain. Meski kini mulai longgar, dia tetap anti makanan mentah. Termasuk menghindari buah-buahan seperti belimbing, jeruk bali, delima, dan grapefruit yang membuat obat tidak berfungsi.

Pria keturunan Toraja itu saat ini berusaha keras menjaga sistem kekebalan tubuh dengan berolahraga ringan. ”Saya baru empat bu-
lanan (sejak transplantasi liver, Red), belum bisa yang berat-berat,” ujarnya.

Apalagi, Joni baru saja mendapatkan masukan soal olahraga yang bisa dilakukan dari Dahlan Iskan, yang juga pasien transplantasi hati. Joni sempat bertanya kepada Dahlan apakah sudah boleh lari-lari kecil. ”Pak Dahlan mengatakan sudah, tapi saya dilarang melakukannya dulu,” katanya.

Joni memang baru saja menemui Dahlan di rumahnya, di kawasan Sakura Regency, Selasa (25/4). Dia datang petang itu dengan ditemani Ketua Yayasan Ubaya Anton Prijatno. Pertemuan tiga orang tersebut ibarat kopi darat pasien-pasien transplantasi organ.

‘Kita ini trio transplan,’ canda Anton, pasien transplantasi ginjal yang juga pernah bertetangga dengan Dahlan di kawasan Tenggilis. Kedatangan Joni ke rumah Dahlan itu merupakan yang pertama pascaoperasi cangkok hati di Singapura pada Desember 2016.

Joni ingin mendengar nasihat-nasihat Dahlan pasca berstatus pasien transplan. Sekaligus ingin memberikan dukungan moril kepada Dahlan yang tengah menghadapi masalah hukum.

”Sampai sekarang pesan Pak Dahlan selalu menjadi pengingat saya. Orang-orang sekitar saya selalu mengingatkan agar saya patuh pesan Pak Dahlan,” kata laki-laki kelahiran 15 November 1960 itu. Pesan yang dimaksud Joni itu tak lain chat via WhatsApp (WA) yang cukup panjang.

Pesan tersebut berbunyi, ”99 persen transplan sukses, yang membuat gagal adalah kesembronoan. Kegagalan ada setelah transplan. Sebagai laki-laki, perasaan ingin segera menunjukkan bahwa nih saya sehat, sudah sembuh, jangan dikira saya ini invalid, sangat sering timbul. Suasana kejiwaan itu meng-
goda untuk segera minta pulang, lalu terjadilah infeksi oleh berbagai sebab, lalu bermasalah, lalu gagallah semua pengorbanan keluarga, khususnya sang putri. Pak Joni harus sabar. Ini urusan maraton, bukan sprinter. Kita berbicara pemulihan jangka jauh, bukan seperti pemulihan sakit karena luka bacok, hahaha. Disiplin adalah kunci saya bisa bertahan, sekarang sudah hampir 10 tahun. Terutama disiplin minum obat, sudah hampir 10 tahun belum pernah lupa. Saya taruh obat di rumah, di kantor, di mobil, di sekretaris, di Jakarta karena sering ke Jakarta, di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, di kantong sopir, dll.” ”Hahaha, maafkan saya kalau pesan itu terlalu panjang,” timpal Dahlan. Mantan Dirut PT PLN itu mengaku selama ini sering mewanti-wanti para pasien transplantasi organ untuk displin pascaoperasi. ”Itu saya lakukan karena saya tak ingin lagi kehilangan teman,” katanya.

Joni memang berusaha disiplin menjaga kesehatan pascaoperasi. Baik saat berada di rumah atau kantor maupun ketika bepergian. Ke mana-mana, dia tak bisa lepas dari masker. Tangannya juga selalu memegang botol cairan antiseptik. Suami Tjatur Agung Setijari itu juga menolak bersentuhan tangan dengan orang lain.

Dalam pertemuan petang itu, Dahlan bertanya banyak kepada Joni terkait pengobatan yang sekarang masih dilakukan. Sampai sekarang Joni masih harus rutin mengonsumsi obat dengan dosis 2,5 mg. Obat yang juga masih dikonsumsi Dahlan (tapi dalam dosis yang lebih kecil) itu harus diminum Joni tepat pada waktunya. Seperti petang itu, Joni dengan disiplin menolak makan bersama di rumah Dahlan. Sebab, dia harus minum obat terlebih dulu pada pukul 18.30.

Joni juga sempat bercerita tentang penyakit yang dideritanya. Dalam pemeriksaan di National University Hospital, Singapura, Joni dinyatakan menderita kanker. Kanker itu ada di salah satu lobus (bagian) livernya. Seketika itu juga dokter menyarankan agar Joni melakukan transplantasi hati. Itu berarti harus ada donor yang memenuhi syarat. Baik secara kesehatan maupun secara hukum menurut peraturan pemerintah Singapura.

Ada dua jenis donor untuk transplantasi liver. Yaitu, donor dari orang yang baru meninggal (deceased donor) ndash;seperti yang dilakukan Dahlan Iskanndash; dan donor dari orang sehat atau donor hidup.

Pada donor hidup, dilakukan pemotongan sebagian liver dari donor sehat untuk dicangkokkan kepada orang yang sakit sebagai penerima. Fungsinya, menggantikan liver yang tidak sehat atau rusak.

Akhirnya, dipilih donor hidup. Dua putri dan istri Joni memungkinkan untuk menjadi donor. Sebab, golongan darah mereka sama. Mereka bahkan sempat berebut menjadi donor. ”Mereka sempat sepakat untuk saling menyumbangkan liver. Masing-masing sepertiga, tapi itu kan tidak mungkin,” kata Joni, lantas terkekeh.

Setelah dilakukan serangkaian tes, istri Joni ternyata tidak memungkinkan untuk menjadi donor. Ada beberapa pertimbangannya. Pertama, faktor usia yang menginjak 50 tahun. Kedua, Tjatur Agung Setijari juga pernah dioperasi. ”Dia operasi Caesar saat melahirkan anak kami,” tutur Joni.

Pilihan kemudian ada pada dua anak Joni, Christabel Annora dan Christina Ludwinia. ”Keduanya berebut menjadi pendonor. Mereka menyampaikan alasan masing-masing lewat grup WA yang kami buat,” papar Joni.

Akhirnya, yang terpilih Christabel Annora. Sebab, si bungsu dianggap kurang memenuhi syarat. Usianya saat itu 20 tahun. Sedangkan si sulung,
Christabel Annora, sudah berusia 24 tahun. Operasi cangkok hati akhirnya berhasil di-lakukan.

Pascaoperasi, Joni masih terus mengingat pesan Dahlan agar tidak segera ingin pulang dari rumah sakit. Sebab, pascaoperasi, pasien transplantasi hati masih rentan tertular virus yang bisa membahayakan kesehatan.

Melihat sosok Joni, Dahlan kagum. ”Beliau termasuk orang yang punya jabatan tapi tidak tertutup dengan apa yang dialami. Ini membantu psikologis kesembuhannya,” kata pria yang sepuluh tahun lalu juga menjalani transplantasi hati itu. Dahlan mewanti-wanti benar agar Joni disiplin menjaga kesehatan dan rutin kontrol. ”Saya sampai sekarang masih rutin kontrol enam bulan sekali,” pungkasnya. (*)

Sumber: Jawa Pos, 5 Mei 2017