Berolahraga Secara Elektronik (eSports) fadjar November 26, 2018

Berolahraga Secara Elektronik (eSports)

Olahraga elektronik? Ya, betul! Istilah kerennya adalah eSports. eSports ini diartikan sebagai suatu pertandingan antar tim dengan menggunakan video games [1]. Jadi bukan olahraga fisik layaknya olahraga konvensional seperti sepakbola atau bola basket yang mempertemukan kedua tim secara langsung di lapangan, namun di dalam eSports, kedua tim bertemu di dalam dunia video games. Mereka menggerakkan suatu karakter di dalam video game tersebut dan begitu juga tampilan luaran yang dihasilkan, semuanya dilakukan melalui interaksi antara manusia dan komputer. Di Indonesia, bahkan sudah ada turnamennya sendiri yaitu Indonesia E-Sports Premier League / IESPL (https://iespl.id/).

Pernah bermain permainan Benteng-bentengan saat masih kecil dulu? Dalam permainan Benteng-bentengan, setiap anak akan berlari ke sana ke mari. Capek, berkeringat, hingga nafas yang terengah-engah, itulah yang dirasakan di samping rasa senang. Permainan yang mirip Benteng-bentengan ini juga bisa ditemui dalam bentuk elektronik, yaitu “Dota”, yang juga merupakan salah satu jenis permainan yang dipertandingkan di dalam eSports. Tapi bedanya, di dalam permainan Dota, yang berlari ke sana ke mari bukanlah manusianya, melainkan karakter di dalam video games yang digerakkan oleh si manusia menggunakan perangkat komputer.

Jenis permainan apa lagi yang biasa dipertandingkan? Biasanya, yang dipertandingkan dalam eSports adalah permainan yang bergenre Real-Time Strategy (RTS), First-Person Shooter (FPS), perkelahian, dan Multiplayer Online Battle Arena (MOBA). Contoh permainannya yaitu: Dota 2, League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, Call of Duty, Hearthstone, Overwatch, Tom Clancy’s Rainbow Six Siege, PlayerUnknown’s Battlegrounds,StarCraft II, dan Fortnite Battle Royale.

Bukankah pada Asian Games 2018 juga ada nomor pertandingan eSports? Ya, memang ada. Permainan yang dipertandingkan pada Asian Games 2018 kemarin yaitu Starcraft II, Arena of Valor, Clash Royale, Pro Evolution Soccer (PES) 2018, League of Legends, dan Hearthstone. Namun pertandingan ini sifatnya hanya eksibisi sehingga, siapapun yang keluar sebagai pemenangnya, perolehan medalinya tidak akan diperhitungkan dalam perolehan medali resmi negara-negara peserta Asian Games 2018. Sebagai catatan, pada ajang Asian Games 2018 kemarin, pihak panitia tidak memasukkan jenis permainan yang mengandung unsur kekerasan atau penembakan seperti Mobile Legends, PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG), Counter-Strike: Global Offensive, hingga Dota 2.

Kalau cuma bermain video games seperti itu, apa bedanya antara bermain video games biasa (yang mungkin sering kita lakukan di rumah) dengan bermain video games dalam pertandingan eSports? Jika hanya sekadar bermain video games, itu biasanya dilakukan dengan tujuan untuk rekreasi. Tetapi eSports dilakukan sebagai sebuah profesi [2]. Kita mungkin biasa bermain games ketika ada waktu senggang. Tetapi seorang atlet eSports, memang pekerjaannya adalah bermain video games. Salah satu kejuaraan eSports tingkat internasional adalah Kejuaraan Internasional Dota 2. Tahukah anda berapakah nilai hadiah yang didapat oleh pemenang kejuaraan ini? Kejuaraan yang pernah dilangsungkan di tahun 2017 memberikan hadiah sebesar 10,8 juta US Dollar [3]. Untuk bisa keluar sebagai juara, tentu persiapan dan latihan yang matang harus dilakukan oleh setiap anggota tim. Mungkinkah kita yang barangkali hanya bermain video games 1 atau 2 jam per minggu sanggup mengalahkan para atlet eSports profesional tersebut yang telah melatih dirinya setiap hari selama berjam-jam? Rasanya kok tidak mungkin.

Besarnya nilai hadiah yang ditawarkan dalam suatu kejuaraan tentu bisa menarik minat tersendiri bagi mereka yang ingin menjadi atlet eSport profesional. Belum lagi ditambah dengan potensi pendapatan dari sponsorship dan endorsement. Tidak tanggung-tanggung, pendapatan sebesar Rp. 100 juta per bulan bukan hal yang mustahil [4].

Tetapi, di manakah kata “sport” (olahraga) itu harus kita tempatkan? Memang masih ada yang memperdebatkannya. Jika harus membandingkannya dengan olahraga seperti bulutangkis, sepakbola, renang, dan lain sebagainya yang dilakukan dengan melibatkan seluruh anggota tubuh, tentu eSports tidaklah demikian. Pemain eSports cukup duduk manis di depan layar komputer, dengan tangan memegang alat kontrol seperti mouse dan keyboard, mata mengamati setiap informasi yang ada di layar serta sesekali berkomunikasi dengan anggota tim lain melalui perangkat microphone, dan juga otak yang terus berpikir menyusun strategi. Dengan kata lain, eSports tidak banyak mengandung unsur atletisme hingga bisa dengan mudah dikategorikan sebagai sebuah olahraga [5]. Tetapi bukankah olahraga catur dan Bridge juga tidak banyak melibatkan gerakan otot tubuh? Terlepas dari apapun alasan yang melatarbelakangi catur dan Bridge hingga bisa menjadi salah satu cabang olahraga, mungkin ini yang masih mempengaruhi penerimaan eSports di kalangan masyarakat awam. Citra eSports sendiri yang erat kaitannya dengan video games, sedikit banyak juga dipengaruhi hasil beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa bermain video games dapat menimbulkan efek negatif seperti meningkatkan stres, depresi dan kecemasan. Permainan video games di gadget sekarang ini juga dianggap sebagai biang keladi menurunnya hubungan sosial dan aktivitas anak.

Sumber:

[1] Juho Hamari, Max Sjouml;blom, (2017) ‘What is eSports and why do people watch it?’, Internet

Research, Vol. 27 Issue: 2, pp.211-232, https://doi.org/10.1108/IntR-04-2016-0085

[2] https://tekno.kompas.com/read/2018/05/25/13150097/apa-beda-antara-gaming-dan-esports-

[3] https://www.polygon.com/2017/8/12/16136964/dota-2-ti7-winners-international

[4] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4316411/bagaimana-pemain-game-bisa-dapat-uang

[5] https://sport.detik.com/aboutthegame//pandit/d-3078400/bermain-video-game-dan-esport-tak-sama-dengan-olahraga

Penulis:

Hendra Dinata, M.Kom

Dosen Teknik Informatika