Teruskan Perjuangan Emansipasi dengan Menjadi Kartini Masa Kini fadjar April 25, 2017

Teruskan Perjuangan Emansipasi dengan Menjadi Kartini Masa Kini

Sosok R.A. Kartini sangat fenomenal akan perjuangan gigihnya mencapai emansipasi wanita. Syiar Keputrian UKKI (Unit Kegiatan Kerohanian Islam) Ubaya memiliki gagasan untuk merayakan hari Kartini bersama seluruh wanita Ubaya. Muflihatun Khoeriyah, selaku Kepala Departemen Keputrian UKKI Ubaya memaparkan, “Acara ini terbuka untuk umum. Awalnya kami memperkirakan akan hadir sekitar 100 orang, namun saat hari H ternyata antusiasme peserta melebihi ekspektasi kami”.

Tepat pada hari Sabtu, 22 April 2017 di PB 3.1. UKKI gelar seminar yang bertajuk “Born To Be A Wonderful Women”. Hari itu nampaknya benar-benar didedikasikan untuk para “Kartini muda”, karena seluruh peserta dan pembicara adalah wanita. Denna Sabella A., S. Psi., yang akrab disapa Abel, dipercaya sebagai moderator. Sedangkan Nabbilah Amir, S.H., M.H. yang juga merupakan dosen Fakultas Hukum Ubaya didaulat sebagai narasumber pagi itu.

“Jikalau kita bingung mencari arah, hal itu terjadi bukan karena tidak ada petanya, namun karena kita tidak memiliki tujuan”, menjadi statement pembuka yang dipaparkan Abel. Ya, seminar hari itu memang berbicara tentang bagaimana para “Kartini muda” harus dan bisa survive untuk mencapai tujuan yang seharusnya didambakan. Nabbilah pun melanjutkan statement yang dipaparkan Abel, “Saya percaya, wafatnya Kartini membangkitkan ‘Kartini’ yang lain. Saya juga percaya, bahwa telah banyak lahir wanita mandiri dan cerdas yang memegang peranan penting di negeri ini”, tegasnya.

Dalam seminar berbentuk talkshow tersebut, Nabbilah banyak memaparkan kisah hidupnya yang penuh perjuangan. Titik balik Nabbilah, diakuinya merupakan obrolannya dengan sang nenek. “Nenek saya cerita bahwa Beliau tidak bisa bersekolah tinggi, berbeda sama saya yang bahkan bisa berkuliah saat itu. Disana saya berpikir bahwa memang tidak salah Kartini mati-matian memperjuangkan yang namanya emansipasi”, terang Nabbilah.

Berkat dorongan dari nenek dan dosennya kala S1, membuat Nabbilah bertekad untuk melanjutkan S2 dan berkarya sebagai dosen. Sayangnya, terhalang stigma bahwa perempuan tidak perlu menuntut ilmu setinggi-tingginya. “Ibu saya berhasil menjadi sarjana S1 dan berkarir. Saya hanya berpikir, kalau Ibu saya bisa S1, seharusnya saya bisa lebih tinggi lagi dari Beliau. Saya mati-matian memohon restu agar diijinkan S2. Namun saat itu, orang tua saya meminta saya untuk menikah dulu”, cerita wanita asal Palu ini.

Singkat cerita, Nabbilah pun menikah di usia yang tergolong muda. “Saya memohon ijin kepada suami dan orangtua saya setelah menikah, namun masih terhalang di kedua orang tua saya. Saya menghormati mereka, namun saya juga ingin S2”, kenang Nabbilah. Beliau pun mengumpulkan uang dari pekerjaannya, lalu kembali memohon ijin dengan berurai air mata. Nabbilah menambahkan,“Ayah saya yang membantu untuk berbicara pada Ibu. Akhirnya, saya diijinkan dengan berbagai syarat. Saat sebelum lulus pun, thesis saya masih menemui halangan. Sempat down juga, tapi saya ingat bagaimana memperjuangkannya dan kembali bangkit”.

Saat melayani sesi tanya jawab, Nabbilah mendapatkan pertanyaan mengenai siapakah motivasinya saat down. “Keluarga saya, baik orang tua dan adik-adik saya. Saya ingin membuktikan pada Ibu bahwa saya bisa survive dengan pilihan saya, dan juga adik-adik saya yang semuanya perempuan bahwa mereka juga perlu menuntut ilmu setinggi mungkin. Saya juga ingin ayah saya bangga”, tegas Nabbilah. Di akhir, wanita kelahiran 24 Mei 1990 ini berpesan, “Tak ada yang tak mungkin, Semua sudah punya kodratnya masing-masing, namun tak ada yang bisa merubah diri kita selain kita sendiri. Terus survive dan jadilah motivasi sebagai para Kartini muda”. (liv)