Berikan Cinta Tanpa Syarat fadjar October 9, 2015

Berikan Cinta Tanpa Syarat

Menghadapi Ledakan Emosi pada Anak-Anak

‘Duh si kecil kok nakal sekali, ya. Sulit diatur, nggak kayak kakaknya,’ ucap seorang ibu. Mungkin, Anda juga sering mendengar, bahkan mengutarakan keluhan serupa. Perilaku anak yang berbeda dengan saudara atau sebayanya kerap jadi keluhan. Bagaimana menghadapinya?

TIAP individu diciptakan dengan fisik, pola pikir, dan perilaku berbeda. Hal tersebut membuat manusia punya cara berbeda pula dalam menyikapi lingkungan sekitarnya. Sikap itu terbentuk ketika si kecil memasuki golden period atau lima tahun awal kehidupan. Terutama pada usia 0ndash;3 tahun, saat si kecil amat cepat menyerap informasi dari lingkungannya.

‘Semua informasi positif dan negatif, verbal atau nonverbal di rekam semua oleh anak,’ ungkap psikolog Maria Agnes Roosmi Pratiwi SPsi. Bahkan, menurut dia, detail seperti gestur pun ikut ditirukan si kecil. Pada periode tersebut, anak ibarat kaca yang memantulkan apa yang dilihat.

Nah, pada masa itu, orang tua wajib menyikapi dengan bijak. Termasuk saat mereka melakukan tindakan yang mungkin dianggap tidak sesuai dengan peraturan atau etika. Roosmi menjelaskan, anak tidak boleh dilabeli dengan sebutan nakal atau bandel. Sebab, dalam masa tersebut, anak tengah bereksplorasi dengan lingkungannya. Mereka berusaha menemukan apa yang benar dan salah dalam versi mereka.

Label serta omelan orang tua bisa membatasi ‘penjelajahan’ si kecil. Kebebasan anak pun terbatasi. Alumnus Universitas Surabaya itu mengibaratkan emosi si kecil adalah uap panas dalam ceret. ‘Kalau dibatasi, tentu akan tertahan dan mbulet di dalam. Atau malah berembus ribut,’ lanjutnya.

Roosmi memaparkan, agar tidak tertahan, anak membutuhkan media positif untuk meluapkan emosi dan energinya. Bisa lewat seni, olahraga, atau kegiatan lainnya. Orang tua wajib mengarahkan. Jika tidak, anak akan bingung untuk menyalurkan energi dan emosi tersebut. Lalu, muncullah perilaku yang kerap dicap nakal dan agresif seperti berlarian, berteriak-teriak, bahkan menangis hebat.

Psikolog rekanan RSIA Kendangsari itu menyatakan, perilaku tersebut tergolong normal. ‘Sebab, anak-anak belum tahu cara mengendalikan emosi. Jadi, wajar jika dia jadi agresif,’ ucapnya. Roosmi menambahkan, umumnya ‘luapan’ tersebut terjadi kepada anak batita. Pada masa tersebut, anak-anak tengah menunjukkan eksistensi diri.

Namun, dia menyatakan, gejala agresif tersebut juga bisa merupakan sinyal dari gangguan pada tumbuh kembang si kecil. Misalnya, gangguan hiperaktivitas (ADHD) dan autisme. Pada periode tersebut, orang tua harus amat sabar. Tidak boleh bereaksi keras atau bahkan membiarkan. Ibu dua anak tersebut menjelaskan, orang tua harus memperlakukan anak dengan halus.

Perempuan kelahiran Surabaya itu menegaskan bahwa anak tidak boleh dibentak atau dimarahi, terlebih di depan banyak orang. Selain membuat kepercayaan diri anak luntur, label itu akan makin melekat. Sementara itu, psikolog Phebe Illenia Suryadinata MPsi mengungkapkan, marahnya anak tidak boleh ditanggapi dengan menuruti keinginan mereka.

‘Jangan dituruti. Nanti mereka menjadikan marah sebagai senjata saat ingin sesuatu,’ ucapnya. Orang tua harus tenang saat menghadapi si kecil yang mengamuk, bahkan tantrum.

Caranya, tunggu hingga amukan si kecil mereda. ‘Dengarkan anak, kenapa mereka ngamuk. Ajak mereka komunikasi dengan baik,’ saran alumnus Universitas Airlangga, Surabaya, tersebut. Jika orang tua balik memarahi, anak menganggap marah adalah hal wajar.

Menghakimi anak dengan menyebut mereka nakal, membandingkan dengan anak lain atau masa kecil orang tua dulu, adalah haram. Sebab, menurut Phebe, hal tersebut bisa menimbulkan sibling rivalry.

Si kecil akan berada di bayang-bayang saudaranya. Mereka amat minder atau bahkan jadi pemberontak. Menurut dia, orang tua harus telaten dalam mengajarkan baik dan buruk kepada anak. Pujian mesti diberikan jika anak berlaku sesuai dengan aturan atau mampu mengerjakan sesuatu sendiri. Imbangi juga dengan punishment jika si kecil berbuat salah.

‘Anak butuh unconditional love orang tua. Mereka butuh tahu bahwa orang tua bakal ada di sampingnya saat sulit ataupun senang,’ imbuh perempuan kelahiran Surabaya, 20 November 1989, itu. Dua psikolog tersebut sepakat, orang tua harus mampu jadi sahabat anak. Bukan sekadar ‘orang yang lebih tua’. (fam/c19/jan)

Sumber: Jawa Pos, 17 September 2015