Penulis: Agnes Swetta Br. Pandia | Editor: Pepih Nugraha
Senin, 21 Februari 2011 | 20:48 WIB
Berbagai regulasi menyangkut penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, bukan memudahkan proses, tetapi justru sebelum berangkat saja sudah susah. Akibatnya pahlawan devisa kini cenderung berangkat secara mandiri bak pelancong untuk menghindari berbagai kewajiban termasuk biaya.
Begitu banyak banyak dokumen yang diurus mulai dari rukun tetangga (RT) hingga Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Persyaratan administrasi begitu rumit, sehingga umumnya TKI tidak mengurus sendiri, tetapi sudah diurus oleh Perusahaan Jasa TKI (PJTKI). Bahkan tak jarang dokumen diterima TKI sesaat sebelum berangkat ke luar negeri.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Serikat Buruh Migran (SBMI) Jatim Moch Cholily mengat akan, ada kecenderungan TKI berangkat secara mandiri ke luar negeri, terutama yang sudah memiliki calon majikan. Berangkat secara mandiri selain biaya lebih murah, TKI juga lebih terjamin keamananan dan kesejahteraannya, katanya.
Apalagi kata dia, selama ini seolah-olah ada kesepakatan antara agen di luar negeri dengan majikan untuk mempercepat pemberhentian TKI sebelum kontraknya selesai.
Akibatnya tak jarang sebelum masa kerja tujuh bulan, TKI sudah diberhentikan. Langkah ini sangat merugikan TKI ka rena selama tujuh bulan, upah dipotong oleh agen untuk melunasi biaya pemberangkatan ke luar negeri.
Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Jawa Timur, total penempatan selama 2010 yang terhimpun dari pengolahan informasi pasar kerja di 38 kabupaten dan kota sebanyak 114.863 orang atau naik 40.41 persen jika dibanding tahun 2009.
Biaya mahal
Dian Noeswantari dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Pusham Ubaya), mengatakan Jawa Timur merupakan provinsi yang terbesar menempatkan TKI ke luar negeri. Tahun 2008 sebanyak 53.000 orang, dan 67 persen diantaranya perempuan.
Hingga Oktober 2009 ada 39.000 orang yang 76 persen merupakan perempuan, dengan alasan utama untuk memperbaiki taraf hidup. Remittance TKI tahun 2009 sekitar Rp 3 triliun.
Dian menyebutkan ongkos bermigrasi sangat besar yakni Rp 15 juta Rp 45 juta sesuai negera tujuan. Hampir 89 persen TKI perempuan bekerja di sektor informal menjadi pembantu rumah tangga.
Tingginya jumlah TKI dan remittance setiap tahun belum diimbangi dengan perlindungan memadai. Akibatnya sangat memungkinkan terjadinya perdagangan manusia atau trafficking. Temuan ini b erdasarkan penelit ian di Kota Surabaya , Kabupaten Malang, Kabupaten Jember dan Kabupaten Blitar.
Pemicunya karena posedur penempatan dan pelrindungan TKI di luar negeri seperti Peraturan Daerah Provinsi Jatim Nomor 2 Tahun 2002 dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004, belum bisa menjamin prosedur bermigrasi yang aman.
Permasalahan yang menimpa TKI mulai pra hingga pasca penempatan. Terus bertambahnya jumlah kasus yang menimpa TKI membuktikan bahwa migrasi memiliki dampak, sehingga perlu dipertimbangkan soal perlindungan. Walaupun Pemprov Jatim membuat Perda untuk mengantisipasi permasalah di ssetiap proses penempatan TKI.
Menurut Djamal Aziz yang selama ini menempatkan TKI ke berbagai negara menyebutkan, calon TKI yang hendak bekerja di luar negeri mengharapkan ada jaminan dari pemerintah terutama menyangkut proteksi.
Instansi terkait seperti Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2T KI) dan Departemen Luar Negeri serta Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi harus memberikan jaminan agar TKI tidak khawatir untuk berangkat ke luar negeri. Sampai sekarang hal itu belum dilakukan oleh pemerintah, sehingga kuantitas penempatan turun, ujarnya.
Hingga kini, khusus Jatim setiap bulan menerima tiga jenasah TKI yang meninggal di luar negeri. Proses pemulangan jenasah pun tidak mudah dan bahkan sering harus menunggu berbulan-bulan.
Salah satu kondisi yang berdampak pada penyelesaian kasus TKI bermasalah, karena terbatsnya akses dan dana lembaga pendamping. Akses antara lain terjadap informasi, orang-orang yang ahli di bidangnya untuk dimintai pendapat maupun terhadap lembaga bantu an lain.
Selain itu ada kesulitan pembuktian terjadinya perdagangan manusia dalam proses penempatan TKI ke luar negeri, klain asuransi untuk TKI yang bermasalah. Khusus menyangkut asuransi sering sulit dilakukan klaim dengan berbagai alasan.
Upaya untuk mencegah perdaganga n masuia dengan melakukan pengetatan pengawasan terhadap proses penempatan TKI secara online . Seperti yang diterapkan oleh Pemerintah Filipina, dimana sejak rekrutmen, selama di luar negeri dan hingga kembali ke tanah air, buruh migran bisa dipantau oleh semua pihak termasuk keluarganya.
Jika sistem rekrutmen hingga pasca penempatan TKI tidak berubah, pemerintah akan terus direpotkan dengan proyek pemulangan pahlawan devisa yang bermasalah di luar negeri.
Sumber: https://regional.kompas.com